kantor Wali Nagari
Kantor Wali Nagari
Rest Area 0724 - 4536745
Masjid At-Taqwa 0818267382892
Puskesmas 0724 - 7936745
Kantor KUA 0724 - 4536745
Kantor Wali Nagari 0752-7576131
Polsek 0724 - 479083
Selasa, 14 Okt 2025 Kat : Kebudayaan Minangkabau / Pendidikan / Wisata Sejarah

Prasasti Saruaso I

Prasasti ini masih in situ (masih tetap berada di tempat aslinya) bersama dengan beberapa artefak kecil lainnya dan sekarang telah diberi cungkup pelindung. Ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta, dipahatkan pada sebuah batu pasir kwarsa warna coklat keputihan dengan ukuran tinggi 75 cm, panjang 133 cm, dan lebar 110 cm.

2 menit baca
Dilihat : 6x

Tulisan prasasti digoreskan pada kedua sisi samping utara (arah depan) dan timur batu yang mempunyai dataran halus, dan pada bagian atas batu sepertinya tidak diperhalus dan dibiarkan alamiah. Tulisan dimulai dari arah timur kemudian melingkar ke depan kembali ke baris kedua arah timur, dan demikian seterusnya.

Prasasti Saruaso I berasal dari Raja Adittyawarman yang berangka tahun 1297 Saka atau 1375 M. Pada dasarnya berisi suatu maklumat atau pengabaran tentang upacara keagamaan yang dilakukan oleh Raja Adittyawarman sebagai seorang penganut Budha Mahayana sekte Bhairawa. Upacara tersebut merupakan pentasbihan dirinya sebagai Wisesa Dharani (salah satu perwujudan Buddha) di suatu kuburan yang disebut dengan Surawasan atau sekarang menjadi Saruaso, (Budi Istiawan: 2014)

Selanjutnya Budi Istiawan (2014) menyebutkan bahwa Upacara (korban) yang dilakukan oleh sekte Bhairawa dapat dilihat dari atribut Arca Bairawa yang ditemukan di Situs Padang Roco, jorong Sungai Langsek, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten Dharmasraya. Arca tersebut memegang pisau di tangan kanan sebagai simbol penyembelihan korban, sedang tangan kiri memegang mangkok untuk menampung darah korban (ada sebagian kepercayaan, darah tersebut diminum atau untuk diguyurkan di seluruh tubuh pelaku upacara). Lebih lanjut Budi Istiawan (2014) menjelaskan bahwa upacara sekte Bhairawa dilakukan di daerah kuburan yang dipenuhi dengan tengkorak manusia dan dilakukan pada malam hari (bulan purnama). Para pengikunya dengan tubuh telanjang menari-nari dan berputar-putar sambil mengumandangkan mantra-mantra gaib diiringi dengan saji-sajian berupa dupa dan bunga-bunga yang berbau harum semerbak, sehingga benar-benar terkesan sakral dan mengerikan. Upacara tersebut dilakukan mulai tengah malam sampai menjelang dini hari. Dalam upacara tersebut, Adttyawarman duduk di atas singgasana dari tumpukan seribu bunga (?) yang diibaratkan sebagai singgasana istana, yang harumnya semerbak sampai kemana-mana. Dalam keadaan yang demikian, sesudah upacara pentasbihan dan duduk di atas singgasana bunga, tubuh Adittyawarman memancarkan cahaya yang berkilau-kilau, bagaikan hiasan emas yang paling harum baunya.

Berita Terkait...

Berikan sebuah komentar